BOJONG PONDOK TERONG (Cipayung), DEPOKHITS.ID – Dugaan praktik pungutan liar mencuat dari kasus lapak hewan kurban milik Ardin, warga Kelurahan Bojong Pondok Terong, Kecamatan Cipayung, Kota Depok.
Lapak bernama Toti Mori yang telah berdiri sejak awal Mei 2025 itu dinyatakan ilegal oleh Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Depok karena tidak memiliki surat izin pemanfaatan lahan aset milik pemerintah daerah.
Ardin mengaku telah mengeluarkan dana sebesar Rp15 juta yang disetorkan kepada pengurus lingkungan setempat, yakni Ketua RT, RW, dan Karang Taruna. Dana tersebut, menurut Ardin, diberikan sebagai bentuk koordinasi sekaligus janji pengurusan izin penggunaan lahan kepada pihak pemerintah kota.
“Awalnya saya koordinasi dengan RT, RW, dan Karang Taruna. Mereka menjanjikan akan mengurus izin ke Pemkot dan saya hanya diminta menunggu saja. Saya serahkan uang itu lewat saudara saya, Rp13 juta untuk izin lahan, lalu saya tambah Rp2 juta untuk biaya air dan listrik selama satu bulan,” ujar Ardin kepada media, Selasa (20/5/2025).
Tak hanya itu, pada 24 April 2025, Ardin menerima dokumen berupa surat izin dan memo yang mengatasnamakan Pemerintah Kota Depok. Dokumen tersebut dibawa langsung oleh pihak RT, RW, dan Karang Taruna, yang menjadi dasar bagi Ardin untuk mulai membangun kandang kurban di awal Mei.
Namun, fakta berbeda disampaikan oleh Kepala BKD Kota Depok, Wahid Suryono. Ketika dikonfirmasi melalui pesan singkat, Wahid menegaskan bahwa hingga kini pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin resmi kepada Ardin untuk menggunakan lahan milik Pemkot.
“Secara prinsip, pemanfaatan aset pemerintah daerah dimungkinkan, namun harus melalui mekanisme pengajuan resmi ke BKD melalui bagian aset. Harus ada surat pengajuan, persetujuan, dan perhitungan nilai sewa. Dalam kasus ini, tidak ada izin yang dikeluarkan. Kami akan segera mengirimkan surat peringatan,” tegas Wahid.
Merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, pemanfaatan aset daerah oleh pihak ketiga wajib melalui prosedur yang jelas, termasuk permohonan tertulis, analisa teknis, dan persetujuan dari kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk. Tanpa prosedur tersebut, segala bentuk pemakaian dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Lebih jauh, jika benar adanya uang yang diserahkan tanpa mekanisme resmi, maka praktik tersebut bisa dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli) sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 e yang mengatur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat atau oknum yang mengakibatkan kerugian pihak lain.
Masyarakat diminta lebih waspada dan tidak mudah percaya kepada pihak-pihak yang mengklaim dapat “mengurus” izin hanya berdasarkan kedekatan atau jabatan struktural lingkungan.
BKD pun mengimbau agar seluruh bentuk pemanfaatan aset daerah dilakukan melalui jalur resmi untuk menghindari kerugian finansial maupun konsekuensi hukum.
Hingga kini, belum ada keterangan resmi dari Ketua RT, RW, maupun Karang Taruna terkait pengakuan Ardin. Sementara itu, Ardin berharap ada kejelasan hukum dan tanggung jawab atas dana yang telah ia keluarkan.
“Saya ini pedagang kecil, uang Rp15 juta itu besar buat saya. Saya hanya ingin jualan dengan tertib, tidak berniat melanggar. Tapi saya sudah dirugikan,” pungkasnya.
Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan dan pentingnya transparansi dalam pengelolaan aset daerah.
Pemerintah Kota Depok didesak untuk menindak tegas setiap pelanggaran prosedur, sekaligus memberikan perlindungan kepada warga agar tidak menjadi korban pungli atas nama perizinan.











